Kamis, 12 Februari 2009

paradigma pendidikan

Nama : Gunawan Anjar Sukmana
NIM : 4103810308220
Mata Kuliah : Paradigma dan Manajemen Mutu & Strategik Pendidikan
Dosen : Prof. Dr. Achmad Sanusi
Kelas : Bea Siswa DEPAG RI
.

ULASAN SOAL JAWABAN
1. Yang paling mendekati batasan pengertian paradigma itu ialah : filsafah, ideologi, visi hidup dan berorganisasi keseharian serta untuk masa depan.
Ulasan :
Dalam pemaknaan kata “ paradigma “ mengandung arti model pola, contoh ( tic : skema ), Dengan demikian paradigma merupakan sebuah model/pola yang terskema dari beberapa unsur yang tersistematis baik secara filosofis, ideologis, untuk dijadikan acuan visi hidup baik secara personal maupun kolektif untuk masa depan. Landasan filosofis mengandung arti “ the love for wisdom “ ( Pytagoras ) dan kualitas manusia menjadi tiga tingkatan : lovers of wisdom-lover of succes-lover of pleasure ( Mayer, 1950 : 26 ) sedangkan acuan pemaknaan “ideologi” merupakan teori menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai daripadanya ditarik kesimpulan-kesimpulan mutlak tentang bagaimana manusia harus hidup atau bertindak. ( Frans Magnis Suseno , 1995 : 21 ) kekhasan dari ideologi selalu dimuat tuntutan-tuntutan mutlak yang tidak boleh dipersoalkan. Cakupan dalam paradigma terdiri dari unsur nilai-nilai,pelembagaan secara fungsional dan struktural, macam-macam tujuan dan kepentingan yang diutamakan, cara-cara dan proses mencapainya, mengembangkan dalam sikap dan prilaku. Dengan demikian paradigma merupakan sebuah acuan yang dibuat dari makna fiosofis suatu bangsa ( kearifan lokal/bangsa ) maupun referensi ideologi yang berasal dari doktrin agama untuk dijadikan visi hidup yang lebih baik.
Bagi bangsa Indonesia Falsafah/ideologi “ Pancasila “merupakan paradigma yang lahir dari kearifan Bangsa dan ideologis ( agama ) yang dijadikan sebagai visi hidup dan berorganisasi keseharian.

2. Dewasa ini paradigma kemasyarakatan dimana-mana di bidang politik yang amat dominan, mencakup prinsip-prinsip tentang : HAM, kedaulatan raknyat dan otonomi daerah yang tidak bertentangan dengan agama.
Ulasan :
Pendasaran paradigma kemasyarakatan lebih dominan dalam bidang politik karena dalam permasalahan utama dalam politik mengenai persoalan legitimasi, legitimasi dalam arti etis. Terhadap lembaga dimensi politis manusia-hukum sebagai lembaga normatif penataan masyarakat. Bidang politik selalu berkutat pada permasalahan-permasalahan dasar manusia mengenai penataan tatanan masyarakat secara keseluruhan sehingga diperlukakan sebuah paradigma kemasyarakatan sebagai solusi dinamika permasalahan tersebut.
Kecenderungan lain yang mewarnai kehidupan manusia adalah kearah dunia yang lebih mementingkan nilai-nilai kemanusian dalam berbagai aspek. Indikatornya runtuhnya sistem politik/ pemerintahan otoriter yang kecenderungan menindas nilai-nilai hakiki manusia menuntut suatu model sistem demokrasi yang mampu menjamin adanya kebebasan dan persamaan, disamping asas yang mengakui kekuasaan hukum dan sistem perwakilan raknyat dalam parlemen ( John Locke & J.J Rousseu ). Esesnsi dari demokrasi yaitu penghormatan kepada nilai-nilai kemanusian dan dalam kekuasaan, raknyat ikut mengambil bagian dalam pemerintahan. Indikasi lain dalam wujud demokrasi adalah pembagian kewenangan antara pusat dan daerah ( otonomi daerah ). UU No 22 Tahun 1999 merupakan implikasi dari bentuk partispatory daerah dalam mengelola daerahnya disesuaikan dengan karakteristik kearifan lokal.

3. Dalam kajian paradigmatik, pendidikan itu secara umum memuat fungsi : mengembangkan kecerdasan jamak ( multiple intelligences ) para individu sehingga menjadi pribadi utuh dan tangguh, dalam keadaan dan lingkungan bagaimanapun.
Ulasan :
Pada abad ke 20 Binet dan Simon mengembangkan kecerdasan intlektual (IQ) pada manusia. Pada awal tahun 1980 David Golemen mengembangkan kecerdasan emosional ( EQ) dan tahun 2000 Danah Zohar dan Ian Marsshall memperkenalkan kecerdasan spritual. Ketiga elemen kecerdasan tersebut mempunyai kelebihan dan kelamahan tetapi jika di padukan menjadi satu kedalam mutiple intlegence yang didalamya mencakup kecerdasan linguistic,ruang,kecerdasan matematik logis dan kecerdasan personal. Maka akan membentuk individu yang mempunyai pribadi utuh dan tangguh dalam menghadapi keadaan lingkunganya. Multiple intelligences merupakan sebuah kolaborasi antara potensi cognitive domain, affective domain, psychomotor domain dan spritual domain sehingga melahirkan individu yang berintelengensi umum yang terintegrasi berdasarkan keimanan,ketakwaan dan kesalehan social dalam kehidupan sehari-hari.

4. Paradigma pendidikan berkelanjutan ( Sustainable Education ) terutama memuat : Strategi dan kebijakan pendidikan yang mampu menunjang pelaksanaan rencana pembangunan berkelanjutan.
Ulasan :
Focus utama manajemen strategik yaitu adanya kemampuan mendeskripsikan serta menganalisa faktor-faktor lingkungan ekternal dan internal yang relevan dan strategik, dimana tujuannya untuk mencapai kesadaran diri berorganisasi dalam arti luas secara mendalam mengenai posisinya ( kinerja serta peranannya )saat ini dan mengenai Repositioning yang terus menerus untuk perbaikan kinerja selanjutnya. ( Achmad Sanusi : Diktat ). Dalam kajian konsep manajemen strategik ada 3 tingkatan yang saling terkait yaitu : strategi tingkat korporet, persaingan bidang, operasional/fungsional. Yang paling potensial pengaruhnya adalah korporet dimana tanggung jawab dan wewenang dari satuan organisasi paling tinggi. Indikator : dalam bidang pendidikan : dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sesuai dengan ruang lingkupnya, wewenang atas strategi korporet berada pada satuan organisasi tinggi.
5. Ditengah kompleksitas sosial / kemayarakatan yang luas, seperti yang terjadi di negeri kita dewasa ini, fungsi utama dari pendidikan hendaknya menitik beratkan : pembangunan dan pengembangan fitrah otentik esensial-eksistensial hingga optimal sesuai peritah Ilahi, terus menerus dalam keadaan bagaimanapun.
Ulasan :
Memaknai pengertian, karakteristik kompleksitas sosial ( social complekcity ) yang mengandung arti kerumitan ( complexity) diperlukan adanya indentifikasi keseimbangan pada persoalan tersebut antara wilayah keteraturan (order) dan wilayah kesemerawutan ( chaos). Agar bisa berselancar ( surfing) dalam keadaan tersebut maka fungsi pendidikan hendaknya menitik beratkan makna pembangunan dan pengembangan sesuai makna esensial-eksistensial manusia. Hipotesis fungsi utama pendidikan lebih lanjut terfokus pada kesadaran diri, yang dibangun terus menerus dengan menitik beratkan pada persoalan lingkungan yang menunjukan gejala kecenderungan yang makin komplek dan chaos. Kohnstamm dan Gunning ( 1955 ) mengatakan bahwa “pendidikan merupakan proses pembentukan diri dan penentuan diri secara etis, sesuai dengan hati nurani”. Sedangkan Langeveld memaknai “ pendidikan merupakan usaha menolong anak untuk melaksanakan tugas-tugas hidupnya, agar dia bisa mandiri,akil baliq, dan bertanggung jawab secara susila. Dengan demikian pendidikan merupakan gejala insani yang fudamental dalam kehidupan untuk mengantarkan anak manusia kedalam dunia peradaban dan juga merupakan bimbingan eksistensial manusia dan bimbingan otentik, agar manusia bisa mengenali jati dirinya, sadar sesadarnya ( dengan belajar ) tentang potensi dirinya, kelemahan dirinya di hadapan-Nya. Proses kesadaran diri ( self-consciousness ) dilanjuti dengan kesadaran kolektif ( collective consciousnees ) yang akhirnya bersandar pada kesadaran iman sebagai pijakan akhir.

6. Paradigma belajar yang tengah menjadi mean stream dewasa ini mulai mengarah ke prinsip bahwa inti dari belajar bermutu itu adalah : mengembangkan multiple intelegences berimbang, terpadu, secara upward spiral dynamic.
Ulasan :
Konsesus mengenai arti kecerdasan (intellegence) terhadap manusia dari berbagai penelitian terdapat distingsi perbedaan yang signifikan. Seseorang yang mepunyai kecerdasan tinggi ( IQ) yang tidak menjadikan sebuah jaminan terhadap pembentukan kecerdasan dalam skala sikap dan tingkah laku. Kritik terhadap IQ mulai di lontarkan bahwa IQ hanya berlaku di lingkungan sekolah, dan orang yang ber IQ tinggi belum tentu berhasil dalam kehidupanya. David Golemen mengatakan keberhasilan seseorang jauh keberhasilanya ditentukan oleh EQ. Keterpaduan antara kecerdasan spritual dan kecerdasan umum dalam multiple intelegence merupakan langkah tinjauan ketergantungan manusia akan adanya Tuhan dimana didalamya terdapat spirit dan kepercayaan bahwa ia diciptakan Mahapencipta dengan batasan –batasan tertentu seperti nasib, perbedaan derajat ilmu dan harta kekayaan oleh karena itu kehidupan trasedental sangat diperlukan didalam menyeimbangkan batas kemampuan manusia.


7. Syarat mutlak bagi tercapainya sistem pendidikan yang bermutu, ialah adanya pelaksanaan yang sungguh-sungguh dan prinsip-prinsip manajemen strategik dan manajemen mutu, yang mencakup : adanya program kurikulum, metode belajar mengajar dan sistem penilaian yang konsisten.
Ulasan :
Transformasi konsep manajemen strategik yang secara khitah berasal dari konsep manajemen bisnis yang kemudian diaplikasikan dalam skala dunia pendidikan memberikan nilai tambah ( added values ) dimana konsep manajemen strategik menawarkan sebuah metode kerja atau pendekatanya dalam cakupan organisasi pembelajar, kerja team, accountability untuk keperluan dan mamfaat bersama. Program kurikulum-metode belajar mengajar- sistem penilaian di buat dengan menggunakan Pendekatan metode reduktif dalam metode kerja merupakan cara dalam penelaahan dan menemukan data faktual (kualitatif&kuantitatif) yang relevan dengan konsep/paradigma pilihan yang jelas atau memulai dengan paradigma/konsep unggulan yang dipilih, lalu di mencari dan menemukan faktor pendukungnya yang relevan. Secara konstruktif maju untuk mencapai konsep baru yang mampu mengkondisikan syarat-syarat untuk mencapai data faktual yang lebih tepat,relevan,maju dan produktif. Dalam penyusunan kurikulum, metode belajar mengajar dan sistem penilaian pendekatan analysis SWOT yang populer saat ini merupaka cara kerja dengan penelaahan unsur-unsur kekuatan-kelemahan- potensi-ancaman sehingga hasil dari indentifikasi tersebut menghasilkan (outcome) kurikulum dan metode belajar yang bermutu.

8. Pendidikan itu maju kearah proses dan hasil yang bermutu, jika : tiap program yang dilaksanakan mengandung nilai etis dan nilai tambah ( added values ), sehingga terjadi mata rantai nilai tambah ( chain of added values )
Ulasan :
Konsep-konsep mengenai manajemen mutu secara prinsip sejauh mengenai kepuasan pelanggan bisa di berlakukan dalam lingkup pendidikan. Pelanggan / konsumen dijadikan standar dalam penilaian mutu karena implikasi dari konsep mutu di terima , dirasakan, di ukur oleh konsumen. Dalam manajemen sistem pendidikan mengaplikasikan manajemen mutu terpadu ( Total Quality Managemen ) yang memuat kriteria tentang indikator dan ukuran barang/jasa yang bermutu diantaranya :
- Memenuhi aspek standar yang ditetapkan secara sah oleh badan yang berwenang dan tentunya standar Etis yang bersumber dari norma-norma Ilahiyah.
- Mengandung nilai tambah ( added values ) dalam arti mutu memuat nilai-nilai keindahan, kekuatan, kemudahan, pemeliharaan (garansi), perbaikan, pergantian dan kesemua unsur tersebut menjadi mata rantai nilai tambah ( chain of added values ).
Program kepuasan tersebut harus bersifat dinamis disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan jaman dan selalu ada upaya evaluasi/perbaikan secara terus menerus. ( continous quality improvements)
9. Pendidikan bermutu itu teramat penting, bila / karena ia memuat tugas fungsional : memperlakukan guru, siswa, orang tua siswa, pemerintah, bisnis merasa puas sebagai stake holder.
Ulasan :
Secara umum, mutu adalah gambaran dan karakteristik meyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukan atau yang tersirat ( DEPDIKNAS : 2000 ). Perjalanan sejarah pendidikan di Indonesia mutu merupakan syarat yang harus diutamakan, sebab dengan sendirinya akan memberikan mamfaat dan memberi kepuasan bagi stake holder, dasawarsa mutu merupakan sebuah jaminan terhadap produk. Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses, dan output pendidikan. Guru/ kepala sekolah merupakan bagian input sumber daya manusia mempuyai tema sentral terhadap mutu pendidikan. Pencapaian terhadap tujuan pendidikan yang bermutu yang tidak bisa di lepaskan adalah keseimbangan antara kepentingan sekolah – masyarakat – pemerintah - individu. Mengutamakan salah satu kepentingan akan menimbulkan satu kesenjangan (chaos) terhadap yang lain, atau lebih ekstrimya akan memunculkan totalitarisme atau diktatorisme dalam pendidikan. Pola kemitraan antara stake holder dengan jelas menempatkan partisipasi masyarakat dalam pendidikan dimana fungsi sekolah (pendidikan ) erat hubungannya dengan masyarakat.

10. Pendidikan akan lebih bermutu, jika kurikulum dan kegiatan pembelajaranya: konsisten dengan tuntutan jiwa UUD 1945 dan saripati peraturan lainya yang berlaku.
Ulasan :
Dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 dan Undang – undang No.2 tahun 1989 mengenai sistem pendidikan Nasional telah merumuskan dasar, fungsi, tujuan pendidikan nasional. Pasal (2) bahwa pendidikan nasional berdasarkan pancasila dan Undang-undang dasar 1945. Pasal (3) pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional. Pasal (4) pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sistematik dari rumusan kebijakan tersebut merupakan salah satu kerangka acuan politik pendidikan nasional yang dijadikan rumusan aspek kebijakan. Yang menjadi permasalahan dalam pendidikan selalu terjadi pada teknis operasional karena terjadinya diskonsistensi antara kebijakan atau undang-undang. Sandaran kebijakan dilapangan selalu mengacu pada kepentingan personal atau penguasa sehingga tujuan pendidikan selalu keluar dari tuntutan jiwa Undang-undang Dasar 1945, padahal dengan jelas menekankan kepada kesatuan nasional, dan kemajemukan masyarakat Indonesia. Dengan sendirinya Undang – undang tentang sistem pendidikan nasional sebagai pengaturan pelaksanaan Undang-undang Dasar tersebut, di dalam ayat-ayatnya menjiwai dimensi ideologi dari pendidikan nasional.

manajemen mutu madrasah

“ MERANCANG SUATU SISTEM YANG BERMUTU ”
( SISTEM DAN METODE PENDIDIKAN PADA MADRASAH DAN PESANTREN )

A. Pendahuluan
Problematika pendidikan Islam dewasa ini dihadapkan kepada tantangan yang sama beratnya , bahkan sebagaian menyatakan lebih berat di banding permulaan awal penyebaran Islam. tantangan muncul akibat adanya aspirasi dan idealitas umat manusia yang multi-interest yang beraflikasi multi-tafsir dan tuntutan hidup yang multi kompleks. Dalam proses pencapainya tugas pendidikan Islam tidak saja menghadapi persoalan kehidupan manusia simplisitis, melainkan amat komplek dampak dari rising demand compleksity manusia.
Hasil rumusan Seminar Pendidikan Islam se-dunia pada tahun 1980 di Islamabad menunjukan tugas pendidikan Islam yang semakin komplek, karena itu harus diarahkan kepada tujuan yang komfrehensif paripurna sebagai berikut : “ Education aims at the ballanced growth of total personality of man through the training of man’s spirit, intelect, the rational self, feeling and bodily sense, education should, therefore, cater for the growth of man in all its asspect,spiritual, intelectual, imaginative, physical,scientific,linguistic,both individually, and collectively, and motivate all these aspect toward goodnees and attainment of perfection. The ultimate aim education lies in the realization of complete submission to Allah on the level individual, the community and humanity at large”. Rumusan tersebut menggambarkan bahwa pendidikan Islam tidak di pandang secara parsial melainkan mempunyai cakupan yang sama luasnya dengan pendidikan umum, bahkan melebihinya. Titik tekan pendidikan Islam terletak pada internalisasi nilai Iman, Islam dan Ihsan dalam pribadi manusia muslim yang berilmu pengetahuan luas.
Pendidikan Islam yang berlangsung melalui proses operasional menuju tujuannya memerlukan model dan sistem yang konsisten yang dapat mendukung nilai-nilai moral spiritual yang melandasinya. Nilai-nilai yang di aktualisasikan berdasarkan orientasi kebutuhan perkembangan fitrah murid ( learner’s potentials orientation ) yang di kombinasikan dengan pengaruh lingkungan kultural yang ada. Oleh karena itu, manajemen kelembagaan pendidikan Islam dalam proses kependidikan dalam institusi berorientasi pada perbuatan yang nyata ( action-oriented system ) berdasarkan atas pendekatan sistematik. Dalam pelaksanaannya kelembagaan pendidikan Islam yang merupakan sub-sistem dari sistem masyarakat atau bangsa harus peka terhadap kebutuhan perkembangan masyarakat. Alfin Tofler dengan pendekatan sins-teknologi mengemukakan “ our schools face backward a dying sistem rather than forward to the emerging new society. Their vast energies are applied to cranking out industrial men; people tooled for survival in a system thet will be dead before they are” ( Toffler : 1970 ), fungsi lembaga pendidikan sebagai sub-sistem masyarakat pada hakekatnya tidak terlepas dari mekanisme sistem sosio-kultural yang terjadi di masyarakat. Lembaga pendidikan Islam selama ini masih bersifat konservatis dan statis dalam menyerap tendensi perubahan global sehingga diperlukan sebuah rekondisi dalam hal wawasan, strategi dan program-program dalam menjawab persoalan aktual dan fungsional dalam tantangan baru.
Menurut Masdar Farid, sistem pendidikan pesantren bukan sekadar kenangan kejaya-an masa lalu yang dicoba untuk dipertahankan dengan membentuk madrasah. Pola dan sistem pembelajaran pesantren justru banyak diadopsi pada sistem pendidikan modern. Sa-yangnya, sistem pendidikan pesantren yang pernah ada itu dihancurkan oleh politik pendi-dikan penyeragaman pemerintah. Pada saat bersamaan, juga muncul kekhawatiran dari sebagian kalangan pesantren sendiri bahwa lulusannya tidak bisa berkiprah di masyarakat kalau tidak ada pengakuan dari negara berupa ijazah.
Pakar pendidikan Prof Dr Muchtar Buchori mengingatkan, politik pendidikan yang dianut pemerintah tidak pernah dapat memuaskan seluruh masyarakat. Selalu ada bagian dari masyarakat yang merasa bahwa aspirasi-aspirasi utamanya di bidang pendidikan tidak dapat dipenuhi oleh politik pendidikan yang ditempuh masyarakat.










BAB II
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENDIDIKAN MADARASAH DAN PESANTREN

B.1. Madrasah
Dalam pendekatan historis eksistensi madarasah dan pesantren yang telah berkembang di Indonesia sebenarnya belum mempunyai kekuatan landasan hukum yang kuat untuk menjamin keberadaan madrasah maupun pesantren. Landasan perundang-undangan bagi penyelenggaraan pendidikan di negara kita adalah UU pendidikan no 4 tahun 1950 jo. No 12 tahun 1954 yang telah direvisi undang-undang no 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional, dalam pasal 13 diyatakan bahwa atas dasar kebebasan tiap-tiap warga negara menganut sesuatu agama atau keyakinan hidup, maka kesempurnaan leluasa diberikan untuk mendirikan dan menyelenggarakan sekolah-sekolah partikelir ( ayat 1 ). Peraturan – peraturan yang khusus tentang sekolah-sekolah partikelir ditetapkan dalam undang-undang ( ayat 2 ). Sejak tahun 1950 sampai tahun 1989 dasar yuridis tempat berpijaknya perguruan agama atau madrasah belum begitu kuat karena pengelolaanya hanya berdasarkan peraturan-peraturan yang ditetapkan menteri Agama. Eksistensi keberadaan lembaga pendidikan khususnya madrasah memperoleh dasar yuridis yang agak mantap yaitu dengan dibuatnya Surat Keputusan Bersam ( SKB ) tiga menteri : Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan menteri Dalam Negeri no 6 tahun 1975 no 037/U/1975 dan no 36 tahun 1975. Terbitnya UU no 2/1989 keberadaan lembaga pendidikan madrasah diperkuat ( pasal 11 ayat 16 ) Secara legal, madrasah sudah terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional sejak di-berlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Perkembangan ma-drasah kemudian berlangsung cepat. Di tingkat MI, siswanya mencapai 11 persen dari total siswa tingkat dasar. Di tahun 1999, terdapat 21.454 MI dan sekitar 93,2 persennya diselenggarakan oleh pihak swasta. Di MTs pendaftarnya mencapai 18,35 persen dari total siswa tingkat lanjutan pertama. Tahun 1999 terdapat 9.860 ma-drasah dan sekitar 88,1 persennya merupakan madrasah milik swasta.
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan nasional (UUSPN), madrasah memiliki kedudukan dan peran yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya (persekolahan). Namun demikian perhatian pemerintah terhadap keberadaan madrasah masih sangat kurang, bahkan menurut Yahya Umar menyebutnya sebagai "forgotten community". Pernyataan Yahya Umar tersebut bagi banyak orang mungkin mengejutkan, namun realitas membenarkannya. Berdasarkan data yang dikeluarkan Center for Informatics Data and Islamic Studies (CIDIES) Departemen Agama dan data base EMIS (Education Management Syatem) Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama, jumlah madrasah (Madrasah Ibtidaiyah/MI (SD), Madrasah Tsanawiyah/MTs (SMP) dan madrasah Aliyah/MA (SMA)) sebanyak 36.105 madrasah (tidak termasuk madrasah diniyah dan pesantren). Dari jumlah itu 90,08 % berstatus swasta dan hanya 9,92 % yang berstatus negeri. Kondisi status kelembagaan madrasah ini dapat digunakan untuk membaca kualitas madrasah secara keseluruhan, seperti keadaan guru, siswa, fisik dan fasilitas, dan sarana pendukung lainnya, karena keberadaan lembaga-lembaga pendidikan dasar dan menengah di tanah air pada umumnya sangat tergantung kepada pemerintah. Atas dasar itu, tidak terlalu salah kalau dikatakan bahwa madrasah-madrasah swasta yang berjumlah 32.523 buah mengalami masalah yang paling mendasar yaitu berjuang keras untuk mempertahankan hidup, bahkan sering disebut lâ yamûtu walâ yahya (tidak hidup dan perlu banyak biaya (agar tidak mati)). Namun demikian, madrasah bagi masyarakat Indonesia tetap memiliki daya tarik. Hal ini dibuktikan dari adanya peningkatan jumlah siswa madrasah dari tahun ke tahun rata-rata sebesar 4,3 %, sehingga berdasarkan data CIDIES, pada tahun 2005/2006 diperkirakan jumlah siswanya mencapai 5, 5 juta orang dari sekitar 57 juta jumlah penduduk usia sekolah di Indonesia.
B.2. Pesantren
Dasar yuridis pesantren posisinya hampir sama dengan madrasah, dalam sistem pengelolaanya kekuatan hukum yang kuat belum ada. Ketentuan pengeloalaanya sepenuhnya berada pada pimpinan pondok pesantren sedangkan Departemen Agama hanya mengurus pada level pembinaan dan pengembangan dengan dibantu instansi lainnya. Secara prinsipil dasar yuridisnya hanya mengacu pada UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan ayat 2, dasar ini tercermin pula dalam UU no 4 tahun 1950 jo. No 12 tahun 1954 pasal 13 ayat 2, penegasan terdapat pula dalam pasal 11 ayat 6 UU no 2 tahun 1989.



BAB III
PROBLEMA PENDIDIKAN MADRASAH

Persoalannya, kondisi sebagian besar madrasah sedang menghadapi persoalan serius. Menurut Yahya Umar, madrasah diibaratkan sebagai mobil tua sarat beban. Kurikulum madrasah adalah 130 % dari kurikulum sekolah karena komposisi kurikulum 70:30 (umum: agama) dan mata pelajaran umum madrasah sama dengan yang ada di sekolah. Apabila dilihat dari missinya, disamping sebagai sekolah juga sebagai lembaga dakwah. Sedangkan apabila dilihat dari kondisi guru, siswa, fisik dan fasilitas, dan faktor-faktor pendukung lainnya kondisinya serba terbatas, untuk tidak mengatakan sangat memprihatinkan. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa kondisi madrasah sebagian besar menghadapi siklus negatif atau lingkaran setan tak terpecahkan (unsolved problems): kualitas raw input (siswa, guru, fasilitas) rendah, proses pendidikan tidak efektif, kualitas lulusan rendah, dan kepercayaan stake holder terutama orangtua dan pengguna lulusan rendah.
Problema madarasah dalam tinjauan sejarah
Sejak awal pemerintahan Orde Baru (1966), Indonesia mengembangkan dua sistem pendidikan, yaitu pendidikan umum dan keagamaan. Menurut Dr Fasli Jalal dalam tulis-annya yang berjudul Partnership Between Government and Religious Groups. The Role of Madrasah in Basic Education in Indonesia, dualisme sistem pendidikan ini sebenarnya produk dari masa kolonialis Belanda. Sistem pendidikan ini pula yang melahirkan dua dasar politik utama, yaitu kekuatan Islam dan nasionalisme. Pada perkembangannya, Pemerintah Indonesia berusaha menyatukannya dalam satu ideologi Pancasila.
Pada era kolonialis Belanda, perkembangan madrasah dimulai dari semangat reformasi yang dilakukan masyarakat Muslim. Ada dua faktor penting yang melatarbelakangi kemunculan madrasah. Pertama, adanya pandangan yang mengatakan bahwa sistem pendidikan Islam tradisional dirasakan kurang bisa memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat. Kedua, adanya kekhawatiran atas kecepatan perkembangan persekolahan Belanda yang akan akan menimbulkan pemikiran sekuler di masyarakat. Untuk menyeimbangkan perkembangan sekulerisme, para reformis kemudian memasukkan pendidikan Islam dalam persekolahan melalui pembangunan madrasah. Pemerintah kolonial, ketika itu sangat khawatir madrasah akan melahirkan generasi yang menjadi penentang kekuasaannya. Tidak heran kalau kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan kolonial, merupa-kan bagian dari usahanya untuk mengkooptasi madrasah. Misalnya, guru madrasah wajib mempunyai izin dari penguasa, dan di bidang kurikulum, pelajaran yang diajarkan harus dilaporkan pada penguasa minta persetujuannya.
Kebijakan pembatasan yang dilakukan pemerintah kolonial tersebut tentunya mendapat reaksi dari kalangan Muslim. Paling tidak ada tiga reaksi, yaitu bertahan, menolak, dan progresif. Kelompok yang ber-tahan kemudian membuat madrasah secara sembunyi-sembunyi di daerah yang jauh dari jangkauan penguasa. Kelompok progresif bersikap lunak pada pemerintah kolonial dan mengikuti aturan mainnya. Di bawah tekanan dan pengawasan ketat dari pemerintahan kolonial, madrasah ternyata mampu memantapkan eksistensinya di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Perkembangan itu akan lebih maju lagi terutama di daerah-daerah pe-losok yang jauh dari pengawasan penguasa.
Pada era Orde Lama, pengaturan dua sistem pendidikan ini kemudian diupayakan untuk dihapus. Paling tidak ada tiga usaha yang dilakukan. Pertama, memasukkan pendidikan Islam ke dalam kurikulum pendidikan umum di sekolah negeri maupun swasta melalui pelajaran agama. Kedua, memasukkan ilmu pengetahuan umum ke dalam kurikulum pendidikan di madrasah. Ketiga, mendirikan sekolah Pen-didikan Guru Agama (PGA) untuk memproduksi guru agama bagi sekolah umum mau-pun madrasah. Tidak heran kalau perkembangan madrasah berlangsung sangat cepat. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat 13.057 Madrasah Ibtidaiyah (MI), pendidikan setingkat sekolah dasar (SD) pada sistem pendidikan umum. Paling ti-dak terdapat 1.927.777 siswa yang mendaftarkan diri di MI.
Pada awal pemerintahan Orde Baru, pendekatan legal formal yang dijalankannya tidak memberikan dukungan pada madrasah. Tahun 1972 Presiden Suharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 1972 dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1974 yang mengatur madrasah di bawah pengelolaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)-sebelumnya, dikelola Menteri Agama.


Problema Pendidikan dalam tinjauan kebijakan
Namun menarik diamati, perhatian pemerintah yang begitu besar diawal kemerdekaan yang ditandai dengan tugas Departemen Agama dan beberapa keputusan BP KNIP tampaknya tidak berlanjut. Hal ini tampak ketika Undang-Undang Pendidikan Nasional pertama (UU No.4 Tahun 1950 jo UU No. 12 Tahun 1954) diundangkan, masalah madrasah dan pesantren tidak dimasukkan sama sekali, yang ada hanya masalah pendidikan agama di sekolah (umum) dan pengakuan belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar .*(Lihat pasal 2 ayat (1) dan (2) dan pasal 10 ayat (2))*
Dampaknya madrasah dan pesantren dianggap berada diluar sistem. Oleh karena itu mulai muncul sikap diskriminatif pemerintah terhadap madrasah dan pesantren. Pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi merupakan lembaga pendidikan dibawah Menteri Agama . *(Hal ini disebabkan karena sistem pendidikan madrasah menurut pemerintah (Departemen P&K) lebih didominasi oleh ”muatan muatan agama, meng¬gunakan kurikulum yang belum terstandar, memiliki struktur yang tidak seragam, dan memberlakukan manajemen yang kurang dapat dikontrol oleh pe¬merintah”.)* Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Bagan berikut ini dimana madrasah dan pendidikan keagamaan/pesantren belum dianggap bagian dari sistem pendidikan nasional dan yang baru masuk hanyalah sekolah umum Islam sebagai bagian dari sistem sekolah, seperti tampak berikut ini Bagan ini menggambarkan hanya sekolah yang menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional, karena itu anak madrasah dan pendidikan keagamaan tidak dapat bergerak pindah dan melanjutkan baik secara horizontal, maupun secara diagonal ke sistem sekolah. Keadaan inilah yang mendorong tokoh-tokoh Islam menuntut agar madrasah dan pendidikan keagamaan dimasukkan menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Reaksi terhadap sikap pemerintah yang mendiskriminasikan menjadi lebih keras dengan keluarnya Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972, yang kemudian diperkuat dengan Instruksi Presiden No 15 Tahun 1974. Kepres dan Inpres ini isinya dianggap melemahkan dan mengasingkan madrasah dari pendidikan nasional. Bahkan sebagian umat Islam memandang Kepres dan Inpres itu sebagai manuver untuk mengabaikan peran dan manfaat madrasah yang sejak zaman penjajahan telah diselenggarakan umat Islam. Munculnya reaksi keras umat Islam ini disadari oleh pemerintah yang kemudian mengambil kebijakan untuk melakukan pembinaan mutu pendidikan madrasah. Dan untuk mengatasi kekhawatiran dan kecemasan umat Islam akan dihapuskannya sistem pendidikan madrasah sebagai kongkurensi Kepres dan Inpres di atas, maka pada tanggal 24 Maret 1975 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri).SKB ini merupakan model solusi yang di satu sisi memberikan pengakuan eksistensi madrasah, dan di sisi lain memberikan kepastian akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada pembentukan sistem pendidikan nasional yang integratif. Dalam SKB tersebut diakui ada tiga tingkatan madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah yang ijazahnya diakui sama dan setingkat dengan SD, SMP dan SMA. Kemudian lulusannya dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi, serta siswanya dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat. Makna SKB Tiga Menteri ini bagi umat Islam adalah pertama, terjadinya mobilitas sosial dan vertikal siswa siswa madrasah yang selama ini terbatas di lembaga lembaga pendidikan tradisional (madrasah dan pesantren), dan kedua, membuka peluang kemungkinan anak¬-anak santri memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern.
Meskipun demikian, bukan berarti SKB Tiga Menteri ini tanpa masalah. Melalui SKB ini memang, status madrasah disamakan dengan sekolah berikut jenjangnya. Dengan SKB ini pula alumni MA dapat melanjutkan ke universitas umum, dan vice versa, alumni SMA dapat melanjutkan studinya ke IAIN. Karena madrasah diakui sejajar dengan sekolah umum, dimana komposisi kurikulum madrasah 70% mata pelajaran umum dan 30% pelajaran agama. Efek penyamaan kurikulum ini adalah bertambahnya beban yang harusi dipikul oleh madrasah. Di satu pihak ia harus memperbaiki mutu pendidikan umumnya setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah. Di lain pihak, bagaimanapun juga madrasah sebagai sekolah agama harus menjaga agar mutu pendidikan agamanya tetap baik. Namun, dengan penguasaan ilmu ilmu agama hanya 30% termasuk Bahasa Arab, tidak cukup memadai bagi alumni MA untuk memasuki IAIN, apalagi untuk melanjutkan studi di Timur Tengah dan juga menjadi calon calon ulama . *(Dampak lain dari keberhasilan ini makin lemahnya penguasaan agama pada siswa madrasah, karena mereka hanya mendapatkan porsi 30% dan ini pula mengkhawatirkan beberapa tokoh Islam bahwa madrasah tidak lagi mempersiapkan calon-calon ulama di masa datang. Fakta inilah yang membuat Prof. Munawir Sadzali, ketika menjadi Menteri Agama (1983 1993), mengintrodusir – sebagai solusi terhadap apa yang disebutnya "krisis ulama" mendirikan Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) dengan komposisi kurikulum 70% pelajaran agama dan 30% pelajaran umum plus pengajaran bahasa (Arab dan Inggris) secara intensif. Dengan program ini input IAIN secara kualitatif dapat ditingkatkan, dan yang penting lagi menjadi support bagi kemunculan calon calon ulama. Sampai disini sudah tampak bahwa madrasah diinginkan untuk memberi peluang pendidikan kepada dua kebutuhan dasar ummat yaitu: Pertama, peluang bagi yang ingin memberikan pengetahuan umum sebagai fokus utama, namun porsi agama tetap sebagai identitas (madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam). Kedua, peluang bagi yang ingin menjadikan pengajaran agama sebagai fokus utama dan pengetahuan umum sebagai tambahan (MAPK). )*
Undang-undang ini juga tidak menampung madrasah yang fokus utamanya pelajaran agama dan pelajaran umum sekedar tambahan yang merupakan bentuk awal dari madrasah modern di Indonesia. Di sisi lain hasil dari SKB ini belum memuaskan, karena masih sering lulusan madrasah mendapat perlakuan diskriminatif karena dianggap kemampuan umumnya belum setara dengan sekolah umum. Kenyataan itu tampak ketika lulusan madrasah mau masuk ke perguruan tinggi umum ataupun ke dunia kerja, dimana perlakuan diskriminatif sangat dirasakan oleh mereka.











BAB VI
MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN MADRASAH

Konsep-konsep mengenai manajemen mutu secara prinsip sejauh mengenai kepuasan pelanggan bisa di berlakukan dalam lingkup pendidikan. Pelanggan / konsumen dijadikan standar dalam penilaian mutu karena implikasi dari konsep mutu di terima , dirasakan, di ukur oleh konsumen. Dalam manajemen sistem pendidikan mengaplikasikan manajemen mutu terpadu ( Total Quality Managemen ) yang memuat kriteria tentang indikator dan ukuran barang/jasa yang bermutu diantaranya :
- Memenuhi aspek standar yang ditetapkan secara sah oleh badan yang berwenang dan tentunya standar Etis yang bersumber dari norma-norma Ilahiyah.
- Mengandung nilai tambah ( added values ) dalam arti mutu memuat nilai-nilai keindahan, kekuatan, kemudahan, pemeliharaan (garansi), perbaikan, pergantian dan kesemua unsur tersebut menjadi mata rantai nilai tambah ( chain of added values ).
Program kepuasan tersebut harus bersifat dinamis disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan jaman dan selalu ada upaya evaluasi/perbaikan secara terus menerus. ( continous quality improvements).
Untuk mempercepat peningkatan mutu madrasah secara efektif, diperlukan pemahaman terhadap hakekat dan problematika madrasah. Madrasah sebenarnya merupakan model lembaga pendidikan yang ideal karena menawarkan keseimbangan hidup: iman-taqwa (imtaq) dan ilmu pengetahuan-teknologi (iptek). Disamping tu, sebagai lembaga pendidikan berbasis agama dan memiliki akar budaya yang kokoh di masyarakat, madrasah memiliki basis sosial dan daya tahan yang luar biasa. Atas dasar itu apabila madrasah mendapatkan sentuhan menejemen dan kepemimpinan yang baik niscaya akan dengan mudah menjadi madrasah yang diminati masyarakat. Seandainya mutu madrasah itu sejajar saja dengan sekolah, niscaya akan dipilih masyarakat, apalagi kalau lebih baik. Abdul jalil, mantan kepala madrasah berprestasi (MIN, MTsN dan MAN) Jalan Bandung Malang pernah mengatakan kepada penulis, bahwa memajukan madrasah sebenarnya lebih mudah dibanding dengan sekolah. Hal ini disebabkan semangat keagamaan komunitas madrasah dan dukungan wali murid, dan pemerhati pendidikan madrasah. Ia mencontohkan, untuk menggali dana masyarakat, madrasah dapat memperolehnya dari zakat, infak, sedekah, wakaf, tasyakuran dan lain sebagainya (Tobroni, Disertasi 2005).
Upaya apakah yang paling strategis atau kiat-kiat yang paling jitu dalam mempercepat peningkatan mutu madrasah. Menurut Yahya Umar, kalau madrasah diibaratkan mesin, maka ada tiga hal yang hendak dilakukan direktoratnya: menyehatkan mesin, mengurangi beban dan merubah beban menjadi energi. Pertama, menyehatkan mesin. Mesin dalam sebuah organisasi pendidikan dapat berwujud budaya organisasi dan proses organisasi. Madrasah yang sehat adalah yang memiliki budaya organisasi yang positip dan proses organisasi yang efektif (Robins, 1996:289). Dalam mewujudkan budaya madrasah yang baru, diperlukan konsolidasi idiil berupa reaktualisasi doktrin-doktrin agama yang selama ini mengalami pendangkalan, pembelokan dan penyempitan makna. Konsep tentang ihlas, jihad, dan amal shaleh perlu direaktualisasikan maknanya dan dijadikan core values dalam penyelenggaraan pendidikan madrasah. Dengan landasan nilai-nilai fundamental yang kokoh, akan menjadikan madrasah memiliki modal social (social capital) yang sangat berharga dalam rangka membangun rasa saling percaya (trust), kasih sayang, keadilan, komitmen, dedikasi, kesungguhan, kerja keras, persaudaraan dan persatuan. Dengan social capital yang baik, akan memunculkan semangat berprestasi yang tinggi, terhindar dari konflik yang seringkali menjadi "hama" bagi perkembangan madrasah. Lembaga pendidikan madrasah juga perlu tampil dengan nama, semangat, semboyan dan performen baru. Misalnya dengan nama baru seperti MI Putera Harapan, MTs Tunas Bangsa, MA Insan Mulia, dan lain sebagainya.
Kedua, kurangi beban. Madrasah memang sarat beban, apabila dilihat dari missi, muatan kurikulum, dan beban-beban sosial, budaya dan politik. Penyelenggaraan kurikulum madrasah perlu diformat sedemikian rupa agar tidak terpaku pada formalitas yang padat jam tetapi tidak padat misi dan isi. Orientasi pendidikan tidak lagi pada "having" tetapi "being", bukan "schooling" tetapi "learning", dan bukan "transfer of knowledge" tetapi membangun jiwa melalui "transfer of values" lewat keteladanan. Metode belajar yang mengarah pada, "quantum learning", "quantum teaching" dan "study fun" dan sebagainya perlu dikritisi. Budaya Belajar Bangsa Indonesia tidak harus mencontoh model Eropa seperti bermain sambil belajar, guru hanya sebagai fasilitator, menekankan proses dari pada hasil, mengutamakan alat belajar dan lain sebagainya. Budaya belajar Bangsa Indonesia yang banyak berhasil membesarkan orang justru yang mengembangkan sikap kesungguhan, prihatin (tirakat), ihlas (nrimo, qanaah), tekun dan sabar. Siswa madrasah harus dididik menjadi generasi yang tangguh, memiliki jiwa pejuang, seperti sikap tekun, ulet, sabar, tahan uji, konsisten, dan pekerja keras. Multiple intelligence (intellectual, emotional dan spiritual quotient) siswa dapat dikembangkan secara maksimal justru melalui pergumulan yang keras, bukan sambil bermain atau dalam suasana fun semata.
Ketiga, merubah beban menjadi energi. Pengelola madrasah baik pimpinan maupun gurunya haruslah menjadi orang yang cerdik, lincah dan kreatif. Pemimpin madrasah tidak sepatutnya hanya berperan sebagai administrator, "pilot" atau "masinis" yang hanya menjalankan tugas sesuai dengan ketentuan, melainkan harus diibaratkan seorang "sopir", "pendaki" atau "entrepreneur" yang senantiasa berupaya menciptakan nilai tambah dengan cara mendayagunakan kekuatan untuk menutupi kelemahan, mencari dan memanfaatkan peluang yang ada, dan merubah ancaman menjadi tantangan (analisis swot). Keterbatasan sumber daya (manusia, material, finansial, organisasi, teknologi dan informasi) yang dimiliki madrasah bagi pemimpin yang berjiwa entrepreneur dan pendaki (climber) justru menjadi cambuk, lahan perjuangan (jihad) dan amal shaleh. Ibaratnya, beban berat di sebuah mobil dapat dirubah menjadi energi apabila sopirnya cerdas dalam memilih jalan yang menurun. Intinya, cara merubah beban menjadi energi adalah dengan cara berfikir dan berjiwa besar, positif, kreatif dan tidak kenal menyerah. Memang salah satu karakteristik madrasah adalah berkembang secara evolutif, dimulai dari sebuah pengajian di mushallah/masjid kemudian menjadi madrasah diniah dan akhirnya menjadi madrasah. Proses evolusi madrash selama ini ada yang berlangsung dengan baik dan ada yang jalan ditempat, tetapi sangat jarang yang mati. Semua itu tergantung pada orang-orang yang ada di dalamnya. Melihat kondisi madrasah di atas, pemerintah seharusnya tidak lagi menomorduakan madrasah, melainkan memperlakukannya secara khusus agar 36.105 madrasah dan 5,5 juta siswanya dapat mengejar ketertinggalannya dan tidak lagi menjadi forgotten community. Mungkin pemetintah selama ini berasumsi: "tanpa dibantu pun madrasah sudah dapat hidup". Asumsi ini memang tidak terlalu salah, akan tetapi tidak seharusnya menjadi alasan untuk tidak membantunya. Atas dasar itulah penulis sangat mendukung kebijakan Dirjen Pendidikan Islam Prof. Dr. Yahya Umar yang akan memberdayakan madrasah, terutama madrasah swasta dalam tiga hal: memberdayakan murid, guru dan madrasah. Kita tunggu saja realisasinya.
Secara umum, mutu adalah gambaran dan karakteristik meyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukan atau yang tersirat ( DEPDIKNAS : 2000 ). Perjalanan sejarah pendidikan di Indonesia mutu merupakan syarat yang harus diutamakan, sebab dengan sendirinya akan memberikan mamfaat dan memberi kepuasan bagi stake holder, dasawarsa mutu merupakan sebuah jaminan terhadap produk. Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses, dan output pendidikan. Guru/ kepala sekolah merupakan bagian input sumber daya manusia mempuyai tema sentral terhadap mutu pendidikan. Pencapaian terhadap tujuan pendidikan yang bermutu yang tidak bisa di lepaskan adalah keseimbangan antara kepentingan sekolah – masyarakat – pemerintah - individu. Mengutamakan salah satu kepentingan akan menimbulkan satu kesenjangan (chaos) terhadap yang lain, atau lebih ekstrimya akan memunculkan totalitarisme atau diktatorisme dalam pendidikan
BAB V
KESIMPULAN

Dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 dan Undang – undang No.2 tahun 1989 mengenai sistem pendidikan Nasional telah merumuskan dasar, fungsi, tujuan pendidikan nasional. Pasal (2) bahwa pendidikan nasional berdasarkan pancasila dan Undang-undang dasar 1945. Pasal (3) pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional. Pasal (4) pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sistematik dari rumusan kebijakan tersebut merupakan salah satu kerangka acuan politik pendidikan nasional yang dijadikan rumusan aspek kebijakan. Yang menjadi permasalahan dalam pendidikan selalu terjadi pada teknis operasional karena terjadinya diskonsistensi antara kebijakan atau undang-undang. Sandaran kebijakan dilapangan selalu mengacu pada kepentingan personal atau penguasa sehingga tujuan pendidikan selalu keluar dari tuntutan jiwa Undang-undang Dasar 1945, padahal dengan jelas menekankan kepada kesatuan nasional, dan kemajemukan masyarakat Indonesia. Dengan sendirinya Undang – undang tentang sistem pendidikan nasional sebagai pengaturan pelaksanaan Undang-undang Dasar tersebut, di dalam ayat-ayatnya menjiwai dimensi ideologi dari pendidikan nasional.

DAFRTAR PUSTAKA
1. Achmad Sanusi ( 2000 ), Manajemen Strategik. Bandung. Diktat
Filsafat Pendidikan. Bandung, Diktat.
2. Achmad Suryadi. ( 1998), Peran serta Pesantren dalam pembangunan, Bandung. Masdar.
3. Arifin, M, ( 1995 ), Kapita Selekta pendidikan. Jakarta. Bumi Aksara.
4. DEPAG. RI. (-) , Lembar kebijakan, Jakarta
5. DEPDIKNAS ( 1998 ), Manajemen Berbasis Mutu, Jakarta
6. Husni Rahim ( 2008 ), Upaya integrasi madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta. Makalah.
7. Tobroni, ( 2007). Percepatan Peningkatan Mutu Madrasah. Malang. Makalah